Baru saja para Guru se- Indonesia merayakan HUT PGRI ke 72 atau disebut juga dengan Hari guru Nasional, penuh suka cita, kebahagiaan bersama rekan rekan sesama guru, hampir setiap postingan akun sosial media para guru pada hari tersebut adalah tentang kegiatan perayaan hari guru, namun keceriaan dan kebahagiaan guru tidak berlangsung lama karena baru baru ini tersirat kabar yang tidak mengenakan datang dari salah satu rekan guru kita Kasus guru yang dipolisikan murid hanya karena mencubit kembali heboh. Kali ini kasus itu terjadi di Kabupaten Wajo, Sulawesi Selatan. Hal ini dialami guru Malayanti, yang telah lebih dari 10 tahun mengajar di SMA Negeri 3 Wajo. Mala pada 6 November lalu sedang mendampingi siswanya mengikuti kelas kewirausahaan. Saat penyampaian materi, seorang siswa bermain ponsel dan diingatkan Mala dengan mencubit lengan siswanya. Tapi siapa nyana, sore harinya Mala dilaporkan ke Polres Wajo. Mala membenarkan statusnya yang saat ini merupakan terlapor di Polres Wajo dan telah melalui pemanggilan perdana oleh penyidik kepolisian. entah siapa yang membuat hukum seperti ini,? ya lagi dan lagi guru harus berurusan dengan hukum dinegeri ini, bukan karena kesalahan guru berbuat kriminal, namun saat guru sedang mendidik dan di anggap kriminal di mata hukum.
Begitu hebatkah hukum dinegeri ini sehingga dalam mendidik pun harus penuh dengan rasa ketakutan dan kecemasan, lalu siapa yang akan membentuk karakter anak bangsa jika guru terlalu dikekang dengan Hukum yang aneh dinegeri ini, ada yang berteriak HAM, sampai detik ini saya tidak paham definisi HAM yang disuarakan oleh aktivis aktivis HAM tersebut, sepertinya HAM juga punya maksud dan tujuan tertentu yang akan membawa kehancuran negeri ini kedepannya.
Akibat dari keadaan yang seperti ini banyak sekali sekolah dan para guru yang tidak lagi memperdulikan peserta didik nya atau terkesan cuek, mereka para guru dan sekolah takut jika nanti harus berurusan dengan hukum, jangan munafik dengan keadaan ini, guru tidak bisa lagi tegas dan menegakkan disiplin, bandingkan dengan keadaan pendidikan zaman saya sekolah dulu, guru pakai rotan, mencubit, pukul, tidak masalah karena selama para guru mendidik kecuali para guru memukul mencubit tanpa alasan yang jelas, padahal jelas definisi guru sebagaimana dikutip dari Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 74 Tahun 2008"Guru adalah pendidik profesional dengan tugas utama mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta didik pada pendidikan anak usia dini jalur pendidikan formal, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah,".
Dalam mendidik, mengajar, membimbing hingga mengevaluasi siswa, maka guru diberikan kebebasan akademik untuk melakukan metode-metode yang ada. Selain itu, guru juga tidak hanya berwenang memberikan penghargaan terhadap siswanya, tetapi juga memberikan punishment kepada siswanya tersebut.
"Guru memiliki kebebasan memberikan sanksi kepada peserta didiknya yang melanggar norma agama, norma kesusilaan, norma kesopanan, peraturan tertulismaupun tidak tertulis yang ditetapkan guru, peraturan tingkat satuan pendidikan, dan peraturan perundang-undangan dalam proses pembelajaran yang berada di bawah kewenangannya," bunyi Pasal 39 ayat 1.
Dalam ayat 2 disebutkan, sanksi tersebut dapat berupa teguran dan/atau peringatan, baik lisan maupun tulisan, serta hukuman yang bersifat mendidik sesuai dengan kaedah pendidikan, kode etik guru, dan peraturan perundang-undangan.
"Guru berhak mendapat perlindungan dalam melaksanakan tugas dalam bentuk rasa aman dan jaminan keselamatan dari pemerintah, pemerintah daerah, satuan pendidikan, organisasi profesi guru, dan/atau masyarakat sesuai dengan kewenangan masing-masing," papar Pasal 40.
Rasa aman dan jaminan keselamatan tersebut diperoleh guru melalui perlindungan hukum, profesi dan keselamatan dan kesehatan kerja.
"Guru berhak mendapatkan perlindungan hukum dari tindak kekerasan, ancaman, perlakuan diskriminatif, intimidasi, atau perlakuan tidak adil dari pihakpeserta didik, orang tua peserta didik, masyarakat, birokrasi, atau pihak lain," tegas Pasal 41.
tentu saja kita masih ingat kasus guru SD dari Majalengka, Jawa Barat, Aop Saopudin, harus berhadapan dengan hukum karena mendisiplinkan siswanya yang berambut gondrong. Selain itu, Aop malah dicukur balik oleh orang tua siswa, Iwan Himawan.
Ternyata aturan yang sudah tegas dan lugas di PP 74 tahun 2008 tidak diindahkan oleh kepolisian, kejaksaan, Pengadilan Negeri (PN) Majalengka dan Pengadilan Tinggi (PT) Bandung. Dalam menangani Aop, mereka melakukan pendekatan pidana murni dan mengabaikan fungsi dan peran Aop sebagai guru. Polisi dan jaksa menilai Aop melakukan perbuatan diskriminasi anak, penganiayaan anak dan perbuatan tidak menyenangkan.
Untungnya, palu keadilan diketok MA dengan membebaskan Aop. Dalam 'kalimat sakti' untuk membebaskan Aop, majelis kasasi yang diketuai hakim agung Salman Luthan menyatakan Aop mempunyai tugas untuk mendisiplinkan siswa yang rambutnya sudah panjang/gondrong untuk menertibkan para siswa. Apa yang dilakukan terdakwa adalah sudah menjadi tugasnya dan bukan merupakan suatu tindak pidana dan terdakwa tidak dapat dijatuhi pidana atas perbuatan/tindakannya tersebut karena bertujuan untuk mendidik agar menjadi murid yang baik dan berdisiplin.Tapi, beda MA beda pula pendapat Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI). Hukuman potong rambut dinilai sudah tidak edukatif lagi dan perlu dibuat formula baru dalam pendisiplinan siswanya.
Lalu kasus Guru yang dianiaya oleh murid dan orang tua murid juga baru saja terjadi dan dialami oleh rekan guru kita yang bernama Anes Pradinata
Gambar dan informasi saya ambil dari status pribadi beliau.
Entah kriminalisasi apa lagi nanti yang akan dihadapi oleh para guru dinegeri ini, tetap semangat dalam mengabdi, tetap semangat dalam mendidik anak bangsa.
Ternyata aturan yang sudah tegas dan lugas di PP 74 tahun 2008 tidak diindahkan oleh kepolisian, kejaksaan, Pengadilan Negeri (PN) Majalengka dan Pengadilan Tinggi (PT) Bandung. Dalam menangani Aop, mereka melakukan pendekatan pidana murni dan mengabaikan fungsi dan peran Aop sebagai guru. Polisi dan jaksa menilai Aop melakukan perbuatan diskriminasi anak, penganiayaan anak dan perbuatan tidak menyenangkan.
Untungnya, palu keadilan diketok MA dengan membebaskan Aop. Dalam 'kalimat sakti' untuk membebaskan Aop, majelis kasasi yang diketuai hakim agung Salman Luthan menyatakan Aop mempunyai tugas untuk mendisiplinkan siswa yang rambutnya sudah panjang/gondrong untuk menertibkan para siswa. Apa yang dilakukan terdakwa adalah sudah menjadi tugasnya dan bukan merupakan suatu tindak pidana dan terdakwa tidak dapat dijatuhi pidana atas perbuatan/tindakannya tersebut karena bertujuan untuk mendidik agar menjadi murid yang baik dan berdisiplin.Tapi, beda MA beda pula pendapat Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI). Hukuman potong rambut dinilai sudah tidak edukatif lagi dan perlu dibuat formula baru dalam pendisiplinan siswanya.
Lalu kasus Guru yang dianiaya oleh murid dan orang tua murid juga baru saja terjadi dan dialami oleh rekan guru kita yang bernama Anes Pradinata
Gambar dan informasi saya ambil dari status pribadi beliau.
Entah kriminalisasi apa lagi nanti yang akan dihadapi oleh para guru dinegeri ini, tetap semangat dalam mengabdi, tetap semangat dalam mendidik anak bangsa.
No comments:
Post a Comment